Halaman

Rabu, 28 Desember 2011

Gadis Dongeng


Anela, peristiwa beberapa tahun lalu membuat hidupku lebih unik. Ya, unik. Aku benar-benar baru mengerti sekarang. Apa maksudmu saat perjumpaan kita di kafe seberang kampus. Saat itu aku hanya tertarik pada dirimu, bukan buku tebal dongengmu.

Dulu, aku hanya melihatmu turun dari bis kota di depan gerbang sekolah. Kau tampak sibuk. Merapihkan rambut, membawa beban yang tampaknya berat dibahumu dan tak luput buku tebal yang selalu kau bawa. Buku itu sangat tebal, Anela!

Aku mulai mengenalmu hanya dari berita angin. Berita yang sayup-sayup terdengar masuk ketelingaku. Berita yang langsung kucerna, dan tersenyum. Orang-orang bilang kau itu aneh. Ada juga yang bilang, kau itu gila.


...Dan kau tahu? Berita itu seperti mulai memunculkan benang merah diantara kita.

Benar-benar butuh perjuangan untukku untuk bisa duduk didepanmu saat kita bertemu di kafe. Aku memikirkan rencana ini semalaman. Berawal dari mengikutimu menaiki bis kota, berusaha untuk menabrakmu di tikungan kampus, mencarimu di perpustakaan, hingga berkontak langsung kepadamu untuk tugas kampus.

Saat itu juga, itulah pertama kali kita saling berbincang. Aku menanyakan segala pertanyaan yang terus mengikatku sejak aku mengenalmu. Semuanya ditumpahkan semua pada kedai kopi di seberang kampus kita. Aku tanyakan semuanya, hidupmu, bis kota, kehidupanmu, matamu yang cukup hebat menghadapi buku-buku tebal dan buku tebal yang selalu kau bawa itu.

Dan kau pasti masih mengingatnya, Anela. Saat kau mengatakannya, aku menjadi terbelalak. Aku benar-benar tak sanggup. Memori-memori yang sudah pecah menjadi satu diotakku pada saat itu. Kau pasti ingat, alasanku untuk menyelesaikan perbincangan di kafe ini. Dan kau dapat melihat ekspresiku membanting pintu kafe. Sementara kau hanya duduk manis dan tersenyum. Itu semua masih ada di otakmu, kan? Apakah kau tak mengertinya?


Ya, perasaanku yang aneh terhadap dirimu. Rasa sayang.



Aku masih tak sanggup menerimanya. Aku juga masih mengingat mimik muka sahabatku saat mendengarnya.

"Kau tak jadi, dengannya?" tanyanya.

Aku menggeleng lesu. Sahabatku menghembuskan napas berat. Dia benar-benar tak mengerti.

"Lalu, apa yang kau dapatkan dari pertemuan itu? Kau tak menyatakannya?"

"Yang aku ingat sepertinya dia juga menyukaiku,"

"Lalu, mengapa kau..."

"Dia ingin siapapun pacarnya nanti, ,menyukai dongeng."

Sahabatku terdiam. Sekarang ia baru mengerti sebabnya. Dia mengerti hubunganku dengan yang namanya dongeng. Hubungan bagai minyak dengan air. Tak akan. Takkan bisa menyatu. Saat itu, aku belum mengerti. Kenapa kau menyuruh siapapun calon pacarmu menyukai dongeng. Kisah-kisah yang tak akan jadi kenyataan. Seperti kisahku saat ini. Saat mendengarnya, Anela.

25 tahun silam, aku baru mengerti semuanya. Cucuku membeli buku dongeng. Ia meminta aku membacanya. Aku sudah menggeleng, tetapi ia merengek. Apa boleh buat, itu adalah pertama kalinya aku membaca dongeng.

Halaman demi halaman, akhirnya sampai dengan akhir yang tak bahagia. Sang puteri tidak menjadi permaisuri sang pangeran karena dongeng penyebabnya. Rasanya aku menjadi mengenali tokoh yang ada didalamnya. Sejenak aku berpikir, tokoh itu adalah aku dan dirinya, Anela. Segera aku menutup buku dan aku melihat namamu sebagai sang dalang di sampul depan.

Sekarang, aku baru mengerti. Kau menginginkan lelaki yang mempercayai dongeng untuk percaya akan dongeng yang sedang dijalaninya. Aku tak menyangka bahwa kisah kita adalah dongeng, Anela! Kini, aku menyesalinya. Sampai sekarang pun rasa itu masih tertahan, walau secuil.

Segera aku memerintahkan cucuku,:


"...Beli buku dongeng yang banyak, nak!"


Selesai


P.S. Dalam rangka menyemarakkan #cumanaksirunite, aku hanya bisa membuat cerita (fiksi) ini. Aku belum banyak berpengalaman tentang ini, @hurufkecil. Aku masih 14 tahun. Setidaknya, ini mengisi liburan sekolah 2 minggu-ku ini. Thanks!

3 komentar: